The Role of Energy Subsidy Policy Reform in Alleviating Poverty and Supporting Renewable Energy Sources

19 February 2021


Kebijakan subsidi energi yang sedang diimplementasikan oleh pemerintah saat ini masih dianggap belum seutuhnya mampu menarget masyarakat miskin. Sebagai contoh, menurut data dari Susenas, hanya 32% masyarakat miskin dan rentan yang menikmati subsidi LPG. Artinya, ada 68% masyarakat mampu yang juga menikmati subsidi ini. Menurut Kemenkeu, ketidaktepatan sasaran subsidi ini juga berlaku untuk subsidi energi lain, seperti solar, listrik, dan minyak tanah. Terlebih lagi, kebijakan subsidi energi saat ini dinilai belum dapat mendukung perkembangan energi terbarukan. Saat ini, subsidi energi berfokus pada energi fosil, sehingga harga energi terbarukan terkesan mahal dan sulit bersaing.


Gambar 1. Febrio Nathan Kacaribu hadir mewakili Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati dalam acara "Feasibility of Green Recovery in Indonesia: The Role of Fossil Fuel Subsidy Reform"
Sumber: TNP2K, 2021

Dalam upaya menjawab tantangan tersebut, pada 16 Februari 2021, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan International Institute for Sustainable Development (IISD) menyelenggarakan webinar berjudul “Feasibility of Green Recovery in Indonesia: The Role of Fossil Fuel Subsidy Reform”. Webinar ini dapat diakses melalui aplikasi Zoom atau streaming di kanal YouTube TNP2KKomunikasi.

Salah satu pemateri yang hadir dalam acara ini adalah Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia Febrio Nathan Kacaribu, yang mewakili Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati. Fabrio mengatakan, reformasi subsidi energi dilakukan dengan mengubah subsidi berbasis komoditas menjadi subsidi berbasis target sasaran. Artinya, subsidi ini hanya akan diterima oleh masyarakat miskin dan tidak akan bisa dinikmati oleh masyarakat yang tidak berhak. Fabrio menuturkan, reformasi subsidi energi akan mengefisiensikan anggaran, sehingga pemerintah dapat meningkatkan anggaran untuk sektor-sektor yang lebih penting, seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial.

Selain itu, reformasi subsidi energi juga dapat mendukung perkembangan energi terbarukan di Indonesia. Fabrio mengatakan, selama ini harga energi terbarukan kurang bisa bersaing dengan harga energi yang disubsidi pemerintah. Reformasi subsidi energi merupakan salah satu langkah dalam mengembangkan sumber energi terbarukan.

Acara ini diakhiri dengan sesi tanya jawab bersama para peserta webinar. Pada sesi tanya jawab ini mencuat sebuah pertanyaan dari perserta mengenai kapan reformasi subsidi energi siap dilaksanakan. Dalam tanggapannya, Kepala Unit Komunikasi dan Kemitraan TNP2K Ruddy Gobel mengatakan, Indonesia membutuhkan persiapan lebih, seperti memastikan bahwa database penerima manfaat sudah baik. Selain itu, perlu juga memastikan bahwa mekanisme bantuan ini dapat tersalurkan dengan baik. Ruddy mengatakan, mungkin pemerintah perlu sekitar 1 sampai 1,5 tahun lagi untuk mempersiapkan reformasi ini.

Selain Fabrio dan Rudy, dalam acara ini turut hadir juga Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Marina Berg, Duta Besar Swedia; Lars Bo Larsen, Duta Besar Denmark; Randi Kristiansen, Analis Ekonomi dan Keuangan International Energy Agency; Ivetta Gerasimchuk, Lead of Sustainable Energy Supplies International Institute for Sustainable Development; Nuki Agya Utama, Direktur Eksekutif Asean Centre for Energy; dan Raphael J. Heffron, Peneliti dari Centre for Energy, Petroleum, Mineral Law and Policy University of Dundee. (KM)