11 February 2013


Perempuan kepala keluarga menjadi bahasan utama dalam Lokakarya Kajian Gender dan Kemiskinan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penggulangan Kemiskinan (TNP2K), Senin (11/02), bertempat di hotel Aryaduta, Jakarta. Lokakarya menampilkan presentasi dari tiga (3) kajian gender yang dilakukan oleh Ririn Purnamasari dari World Bank, Nani Zulminarni dari PEKKA dan Anne Lockey & Adama Bah mewakili PSRF dan TNP2K. Lokakarya dibuka oleh Fransiska E. Mardiananingsih mewakili sekretaris eksekutif TNP2K dengan paparan singkat mengenai aspek gender dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Hadir dalam kesempatan ini sejumlah kementrian dan lembaga diantaranya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementrian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak & Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas.

Ririn Purnamasari mengawali paparan pertama berjudul “Tinjauan Umum tentang Gender dan Kemiskinan di Indonesia”. Dalam paparannya, Ririn menekankan pentingnya data lapangan untuk membuka pengetahuan dalam isu-isu kemiskinan. Selain itu, Ririn juga memaparkan hasil kajiannya tentang beberapa permasalahan besar dalam bidang kemiskinan, diantaranya fakta tentang kerentanan pada Rumah Tangga Perempuan. “Meski rasio kemiskinan Rumah Tangga Perempuan dan Rumah Tangga Laki-laki itu hampir sama, tetapi Rumah Tangga Perempuan lebih rentan ketika ada shock, misalnya kenaikan BBM,” jelas Ririn. Salah satunya faktor yang melatarbelakangi hal tersebut adalah bahwa banyak perempuan kepala keluarga bekerja di sektor informal tanpa ada jaminan stabilitas, seperti tidak adanya pensiun dan kemungkinan pemecatan tiba-tiba. Selain itu paparan Ririn juga memberikan informasi malnutrisi masih menjadi persoalan besar di Indonesia baik laki-laki maupun perempuan, anak putus sekolah saat transisi sekolah tinggi terutama dari SD menuju SMP dan perbedaan pemberian gaji/ upah yang lebih rendah kepada wanita meskipun melakukan kerja yang sama dengan laki-laki.

Paparan kedua disampaikan oleh Nani Zulminarni dari Lembaga Swadaya Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Nani memaparkan Penelitian Sensitif Gender hasil dari pengalaman PEKKA dengan pendampingan dari SMERU ketika melakukan Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK). Tujuan penelitian tersebut adalah penguatan kelompok marginal (perempuan) untuk berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial masyarakat. Dengan metode riset berbasis masyarakat dan diskusi kelompok terfokus, penelitian ini mengangkat isu-isu perempuan kaitannya dengan hambatan ideologis dan budaya masyarakat. Penelitian PEKKA yang saat ini masih dalam proses finalisasi mengharapkan adanya informasi yang relatif lebih akurat dengan mengungkap info yang tersembunyi dan sensitif. Nani mengungkapkan bahwa persoalan pada Rumah Tangga Perempuan bukan hanya mengenai akses terhadap sumber penghidupan, namun juga karena persoalan martabat dimana kedudukan perempuan sering kali dianggap berada di posisi lebih rendah dalam strata sosial.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Abdurrahman Syebubakar dari PRSF yang menyatakan bahwa tingkat kematian ibu melahirkan di daerah asalnya, NTB adalah tingkat tertinggi di Indonesia (bahkan di kawasanAsia Tenggara) yang disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagian kalangan “menyalahkan” faktor budaya, misalnya harus mendapat izin suami apabila pergi ke RS atau bidan, bahkan untuk masalah genting seperti ketika melahirkan. Tetapi belum ada kajian serius tentang pengaruh negatif budaya terhadap persoalan sosial ekonomi termasuk pemiskinan dan kemiskinan.

Paparan terakhir disampaikan oleh Anne Lockley dari PSRF dan Adama Bah dari TNP2K. Keduanya memaparkan mengenai temuan utama hasil kajian gender pada Basis Data Terpadu. Analisa tersebut bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan pemahaman terhadap perbedaan gender dalam karakteristik rumah tangga miskin, dan faktor-faktor khusus yang perlu dipertimbangkan untuk memastikan kesetaraan gender dalam hal akses terhadap inistiatif perlindungan sosial. Kajian ini berdasarkan data yang dikumpulkan melalui pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011, dan kemudian diolah menjadi Basis Data Terpadu (BDT) untuk program perlindungan sosial. Dengan fokus program penurunan kemiskinan yang seringkali berada di unit rumah tangga, analisa ini dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik rumah tangga Rumah Tangga Perempuan dan Rumah Tangga Laki-laki, serta karakteristik-karakteristik perempuan dan laki-laki individual. Hasil analisis yang disampaikan mencakup jumlah perbandingan antara kepala rumah tangga perempuan dan laki-laki, usia dan rasio jenis kelamin, ukuran rumah tangga dan rasio ketergantungan, kepemilikan kartu tanda penduduk, disabilitas dan penyakit kronis, status pekerjaan, status pendidikan, serta implementasinya.

Proses diskusi berlangsung hangat dan menarik menghasilkan beberapa kesimpulan dan masukan bagi isu kemiskinan kaitannya dengan gender di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Ririn Purnamasari dari World Bank, bahwa data lapangan sangat penting digunakan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintah dan implementasinya, serta keterpaduan antara data makro dengan persoalan riil di tataran mikro. Terkait dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh perwakilan dari Kementrian Sosial mengenai cultural barrier (hambatan budaya) dalam isu gender dan kemiskinan, Nani menegaskan kembali pentingnya penyelesaian soal kemiskinan kaitannya dengan gender tidak hanya menyentuh tataran birokrasi seperti akses dan infromasi, namun juga persoalan budaya dan paradigma mengenai perempuan dalam masyarakat. Terakhir, Adama menambahkan pentingnya pendefinisian secara jelas mengenai profil rumah tangga perempuan (Female Headed Households) dengan laki-laki (Male Headed Households) dengan menggunakan kriteria dan karakteristik yang spesifik sehingga memudahkan proses penanggulangan kemiskinan di Indonesia di masa mendatang.

oleh: Maria Virthy dan Afra Khumaira