Women's Vulnerability During the COVID-19 Outbreak

28 September 2020


Wabah Covid-19 yang terjadi saat ini, disadari atau tidak telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap kaum perempuan. Krisis yang terjadi semakin memperlihatkan bagaimana perempuan seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif serta mengalami tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun verbal, dan psikis. 

Wabah Covid-19 telah memberikan berbagai efek domino bagi perempuan, mulai dari hilangnya mata pencaharian perempuan yang bekerja pada sektor informal, dimana sekitar 61,37% perempuan Indonesia bekerja pada sektor informal, meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan, hingga meningkatnya beban pekerjaan domestik bagi perempuan pada masa wabah Covid-19. Selain itu, kebijakan pembatasan sosial yang termasuk bekerja dan bersekolah dari rumah, juga membuat perempuan lebih rentan stress karena menambah beban pekerjaan domestik yang selama ini dilekatkan kepada mereka (Komnas Perempuan, 2020)

Di bidang kesehatan, perempuan juga masih mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, padahal posisi perempuan dalam bidang kesehatan sangatlah krusial. Berdasarkan data yang dipaparkan oleh WHO, 70% pekerja sektor sosial kesehatan merupakan perempuan, dan sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai perawat dan bidan. Sedangkan di Indonesia sendiri 74% pekerja sektor kesehatan adalah perempuan (PROSPERA, 2020) dan ini juga menunjukkan betapa perempuan berada di posisi rentan terkena paparan Covid-19. Namun, dengan risiko dan angka partisipasi yang cukup tinggi pada pekerja sektor kesehatan tersebut, tidak diseimbangi dengan pendapatan yang sesuai bagi perempuan dimana mereka memiliki pendapatan rata-rata 28% lebih rendah daripada laki-laki dan sulit untuk diangkat menjadi pegawai tetap (WHO, 2019). Keterlibatan perempuan di dalam kepemimpinan juga sangat terbatas dan bahkan tidak ada, karena perempuan masih dianggap lebih inferior dibandingkan dengan laki-laki. 

Menurut data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK sejak Maret hingga Juni 2020 selama pandemi, tercatat sudah ada 110 kasus KDRT yang dilaporkan, meningkat dibanding tahun 2019 (LBH APIK, 2020). Begitupula dengan yang dilaporkan oleh Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) bahwa tercatat adanya peningkatan kasus KDRT sebesar 75% semenjak pandemi. Hal ini dikarenakan perempuan dihadapkan pada penambahan beban pekerjaan domestik selama masa pandemi, dan ketika mereka tidak dapat mengerjakannya dengan baik, mereka rentan menjadi target kekerasan. Kajian Dinamika Perubahan di Dalam Rumah Tangga yang disusun oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga didominasi oleh kekerasan psikologis dan ekonomi. Kelompok yang rentan terkena KDRT yakni: perempuan, rentang usia 31- 40 tahun, status perkawinan menikah, penghasilan kurang dari 5 juta rupiah, dan memiliki jumlah anak 3 – 5 orang dan lebih dari 5 orang (Komnas Perempuan, 2020).

Masa krisis yang menyingkap berabagai permasalahan dan kerentanan yang dihadapi oleh perempuan seperti saat ini tentunya menjadi momentum yang tepat untuk merefleksikan kembali efektivitas dari upaya-upaya perlindungan terhadap perempuan yang selama ini sudah dilakukan. Masih adanya perlakuan tidak adil yang dialami oleh perempuan menuntut adanya reformasi berbagai kebijakan dan program pemerintah agar lebih memfasilitasi kebutuhan perempuan, utamanya program perlindungan sosial. (KM)