Challenges, Policies and Solutions for Inclusive Growth in Indonesia

21 December 2022


Dunia global diprediksi belum sepenuhnya aman dari ancaman resesi global di tahun ini. Oleh karena itu, menjadi pekerjaan berat bagi Indonesia untuk terus menjaga target penurunan kemiskinan ekstrem di 2024. Kendati program perlindungan sosial cukup ampuh menjaga kestabilan dan daya beli masyarakat, program pemberdayaan ekonomi tetap harus dijalankan. Harus ada sinergi pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam hal pelaksanaan program pengentasan kemiskinan dan penyusunan anggaran.

---

Sebelum pandemi Covid-19, penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia bisa disebut sangat mengesankan. Faktor utama yang menurunkan tingkat kemiskinan tersebut adalah pertumbuhan ekonomi dan program perlindungan sosial. Sayangnya, kemajuan positif penurunan tingkat kemiskinan itu terganjal oleh pandemi dan kini tingkat penurunannya ada di laju mendatar.

Berdasar data Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia saat krisis ekonomi global 1998 tercatat hampir sebanyak 130 juta jiwa atau setara dengan 75%. Berbagai upaya keras dilakukan untuk menurunkan angka kemiskinan tersebut. Sejak kurun 2007-2008, angka kemiskinan di Indonesia terus menurun signifikan dari 20% menjadi kurang dari 10% hingga awal 2020. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia dan meluluhlantakkan sendi ekonomi banyak negara membuat Indonesia terimbas. Angka kemiskinan pada September 2020 naik menjadi 10,2%.

Seiring masifnya program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk mengatasi dampak pandemi di Indonesia, angka kemiskinan secara perlahan kembali dapat diturunkan. Pada September 2021, misalnya, angka kemiskinan kembali di bawah 10%, yaitu persisnya ada di angka 9,7%. Lalu, pada Maret 2022, angka kemiskinan kembali turun ke 9,5% kendati tidak begitu agresif. Namun, data tersebut menunjukkan bahwa program pemulihan ekonomi akibat pandemi sudah ada di jalur yang benar. 

Program perlindungan sosial di Indonesia terbukti menjadi jurus jitu selama krisis ekonomi, terutama saat pandemi Covid-19 melanda. Anggaran perlindungan sosial yang disalurkan, belum termasuk anggaran BPJS Kesehatan dan subsidi energi, saat sebelum pandemi sebanyak Rp 134,26 triliun atau setara 0,85% dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Porsi anggaran perlindungan sosial naik menjadi 1,45% terhadap PDB atau setara Rp 224,5 triliun pada 2020 di mana awal pandemi terjadi. Selanjutnya, seiring pengendalian pandemi, anggaran perlindungan sosial berkurang menjadi Rp 159,84 triliun atau 0,94% dari PDB. Beberapa program perlindungan sosial tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako, Kartu Prakerja, Bantuan Subsidi Upah, Bantuan Langsung Tunai (BLT), BLT Dana Desa, dan potongan tagihan listrik untuk golongan pelanggan listrik tertentu.

Dari keseluruhan program pengentasan kemiskinan tersebut, pemerintah memiliki fokus untuk mengentaskan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0% pada 2024 lewat penerbitan Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai kondisi ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, minuman, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi yang tidak hanya terbatas pada pendapatan, tapi juga akses terhadap layanan sosial. Indikator kemiskinan ekstrem adalah penduduk yang memiliki pendapatan di bawah $ 1,91 per kapita per hari atau setara Rp 30.000 per hari dengan acuan kurs Rp 15.600 per 1 $. Hingga 2021, tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia sebesar 4 % atau sekitar 10,8 juta jiwa.

Pemerintah telah menyusun peta jalan pengurangan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Pada tahap pertama (Oktober-Desember 2021), terdapat 35 kabupaten di tujuh provinsi yang menjadi sasaran program pengentasan kemiskinan ekstrem. Di tahap ini, penyaluran anggaran untuk perlindungan sosial lewat bantuan langsung tunai menjadi program unggulan. Berikutnya pada tahap kedua (tahun 2022), pemberdayaan ekonomi dan program perlindungan sosial terus digalakkan. Sementara di tahap ketiga, yakni di tahun 2023-2024, angka kemiskinan nasional diharapkan turun menjadi 8,5-9 % dan angka kemiskinan ekstrem harus berhasil turun menjadi 2,5-3 %. Di penghujung program, yaitu di tahun 2024, angka kemiskinan nasional diharapkan turun menjadi 6-7% dan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0 atau kurang dari 1%.
 

Tantangan Pengentasan
Tak mudah merealisasikan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0% di Indonesia. Begitu banyak pihak yang terlibat, termasuk kondisi geografis di mana sebagian besar warga yang masuk kategori miskin ekstrem berada di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau jauh dari fasilitas publik. Berikut ada empat tantangan utama dalam program pengentasan kemiskinan ekstrem di Indonesia, yaitu data sasaran yang akurat dan valid; perluasan program untuk menjangkau sasaran yang selama ini belum masuk dalam program perlindungan sosial; upaya pengentasan kemiskinan ekstrem belum memasukkan pasar tenaga kerja dan program pemberdayaan yang memadai; serta program yang tidak selaras atau tidak mendukung pengentasan kemiskinan ekstrem.

Selama ini, data untuk penyaluran beragam program perlindungan sosial di Indonesia menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial. Sayangnya, data ini kerap tidak up to date. Beragam sebab yang menjadikan kenapa DTKS kerap tidak akurat. Oleh karena itu, dalam program ini Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menggunakan data yang dimiliki Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menyusun data Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P2KE). Data tersebut berisikan variabel sosioekonomi yang bisa digunakan untuk menyusun tingkat kesejahteraan keluarga.

Terkait keluarga miskin yang belum tersentuh program perlindungan sosial, ditemukan data bahwa masih ada 52,4% rumah tangga miskin yang belum menerima program perlindungan sosial, seperti PKH atau Program Sembako. Di satu sisi, terdapat 2,5% rumah tangga sejahtera yang masih menerima Program Sembako maupun PKH. Tentu masih menjadi pekerjaan rumah besar untuk menjangkau 52,4% rumah tangga miskin agar tersentuh program perlindungan sosial. Upaya ini bisa terlaksana apabila didukung data yang valid dan akurat.

Memasukkan pasar tenaga kerja dan program pemberdayaan yang memadai cukup strategis dalam pengentasan kemiskinan ekstrem. Untuk itu, dibutuhkan konsolidasi program pemerintah pusat dan daerah, termasuk konvergensi anggaran dari pusat dan di daerah. Akses terhadap pasar kerja harus diperbaiki, sementara pendampingan pengembangan UMKM juga harus terus dilaksanakan.

Di tahun ini, mengentaskan kemiskinan ekstrem tidaklah mudah. Bayang-bayang resesi global masih akan menjadi tantangan makro yang patut diwaspadai kendati dampaknya di Indonesia dirpediksi tak signifikan. Untuk itu, pemerintah wajib menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga kestabilan harga pangan, penyaluran perlindungan sosial yang tepat sasaran, serta pemberdayaan ekonomi bagi warga miskin dan rentan miskin.