Extraordinary Efforts are Needed to Eliminate Extreme Poverty in Indonesia

02 January 2023


Dengan cara-cara yang ada saat ini, seperti penyaluran beragam program perlindungan sosial, angka kemiskinan ekstrem di Indonesia diperkirakan masih ada di kisaran 2,3% pada 2024. Padahal, target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo, angka kemiskinan ekstrem bisa dihapuskan sama sekali atau setidaknya kurang dari 1% di tahun 2024. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan dan cara-cara tak biasa agar target tersebut bisa dicapai tepat waktu dan tepat sasaran.

---

Pada 2030, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menargetkan untuk menghapus angka kemiskinan ekstrem yang dirumuskan setara dengan $1,9 purchasing power parity (PPP) sebagaimana telah dihitung oleh Bank Dunia. Untuk memantau perkembangan tingkat kemiskinan global, pengukuran yang dibangun harus dapat terbanding antara satu negara dan negara yang lain. Oleh karena itu, Bank Dunia membangun garis kemiskinan (GK) internasional berdasarkan konsep PPP dengan tahun dasar tertentu.

Pada 4 Maret 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan arahan untuk melakukan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem ($1,9 PPP) pada 2024. Target ini enam tahun lebih cepat dibandingkan dengan target SDGs. Mengingat jangka waktu yang lebih pendek, maka diperlukan langkah-langkah strategis untuk mencapai target tersebut. Ringkasan kebijakan ini merupakan salah satu input yang diarahkan untuk mendukung upaya menghapus kemiskinan ekstrem di Indonesia pada 2024.

PPP merupakan indeks harga antarnegara yang merupakan ukuran sejumlah uang yang diperlukan untuk membeli barang dalam jumlah yang sama secara riil relatif terhadap negara pembanding, yang umumnya menggunakan perbandingan dengan Amerika Serikat (Deaton & Aten, 2017). Konsep PPP terkait erat dengan definisi tingkat harga di tiap negara yang merupakan harga rata-rata tertimbang dari sejumlah barang menggunakan jenis barang dan bobot yang sama di antara negara-negara tersebut (Feenstra & Taylor, 2017).

Selanjutnya, diasumsikan bahwa PPP akan berlaku sepanjang tingkat harga di beberapa negara tersebut terbanding dalam satuan unit nilai tukar yang sama. Gambaran sederhana mengenai konsep PPP adalah apabila harga satu buah pisang di Amerika Serikat US$1, sedangkan harga pisang sejenis di Indonesia Rp 500, PPP adalah US$0,002/rupiah.

Sumber informasi untuk nilai tukar PPP untuk GK internasional adalah International Comparison Program (ICP), yang merupakan kemitraan kantor statistik beberapa negara. Cakupan jumlah negara dalam ICP yang terkini, tahun 2011, terdiri dari 199 negara atau setara dengan 97 persen jumlah penduduk dunia atau sekitar dengan 99 persen produk domestik bruto dunia (World Bank, 2015).

Secara umum, asumsi yang digunakan merujuk pada World Economic Outlook (WEO) yang diterbitkan oleh International Monetary Funds (IMF, 2021). Asumsi pertama, pertumbuhan ekonomi yang telah didekomposisi menurut kelompok pengeluaran 40 terbawah, 40 menengah, dan 20 teratas digunakan untuk menentukan besaran angka pengeluarna per kapita.

Asumsi kedua, inflasi tahunan digunakan sebagai dasar penentuan garis kemiskinan lima tahun mendatang. Terakhir, pertumbuhan penduduk digunakan sebagai dasar menetapkan jumlah penduduk pada lima tahun yang akan datang.

Dengan berbagai asumsi tersebut di atas, maka angka kemiskinan ekstrem pada 2024 diproyeksikan sebesar 0,6-1 persen. Diperlukan intervensi khusus untuk menghapus angka kemiskinan ekstrem pada 2024 sebagaimana yang dikemukakan oleh Presiden pada 4 Maret 2020. Penghapusan angka kemisknan ekstrem pada 2024 cukup berat dilakukan jika menerapkan model intervensi “as usual”. Upaya penghapusan kemiskinan ekstrem semakin berat di tengah pandemi Covid-19.

Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem pada 2021 diperkirakan sebesar 10,9 juta jiwa. Dengan asumsi target penurunan menjadi 0 persen pada 2024, diperlukan penurunan rata-rata 3,6 juta jiwa per tahun. Untuk mencapai angka tersebut, tentunya diperlukan langkah-langkah khusus mengingat rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin selama lima tahun terakhir hanya berkisar pada 770 ribu jiwa per tahun.

Kerangka kebijakan penanggulangan kemiskinan yang telah ditetapkan saat ini adalah membagi intervensi menjadi dua kelompok besar. Pertama, kebijakan dan program untuk menurunkan beban pengeluaran. Kedua, kebijakan dan program untuk meningkatkan kapasitas pendapatan.

Kebijakan dan program untuk menurunkan beban pengeluaran kelompok miskin dan rentan diantaranya melalui program bantuan sosial dan subsidi, jaminan sosial, dan jarring pengaman sosial. Program yang dijalankan terkait dengan bantuan sosial dan subsidi seperti Program Keluarga Harapan, Program Sembako, dan Program Indonesia Pintar. Program Bantuan Iuran melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan-Penerima Bantuan Iuran (BPJS-PBI) merupakan program yang terkait dengan jaminan sosial.

Khusus pada era Covid-19, sejak 2020 diberlakukan juga program dan kebijakan untuk membantu mengurangi beban pengeluaran antara lain melalui program Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD), bantuan pembayaran iuran listrik, dan bantuan Presiden.

Sementara itu, dalam kelompok kebijakan dan program peningkatan pendapatan, terdapat empat bagian penting, meliputi: pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); pengembangan ekonomi lokal; akses pekerjaan; dan respons kebijakan perihal Covid-19. Keempat bagian ini ditujuan pula untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan inklusi keuangan pada kelompok miskin dan rentan.

Beberapa program yang telah dijalankan untuk mendorong peningkatan pendapatan kelompok miskin dan rentan antara lain Program Kartu Prakerja, Padat Karya Tunai Desa (PKTD), Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan akses permodalan melalui pembiayaan Ultra-Mikro (UMi) dan Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar).

Selain dengan kedua kebijakan di atas, pemerintah berupaya meminimalkan wilayah yang menjadi kantong-kantong kemiskinan. Upaya ini dilakukan dengan cara meningkatkan akses layanan dasar dan meningkatkan konektivitas antarwilayah. Untuk merealisasikannya, pemerintah mendorong konvergensi penggunaan anggaran, konsolidasi program, dan meningkatkan peran pemerintah daerah serta pemangku kepentingan di daerah.

Peta Jalan dan Terobosan
Merujuk pada hasil simulasi sebelumnya, target penurunan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0% pada 2024 cukup berat untuk diwujudkan jika tetap menggunakan standar program yang berjalan saat ini. Dengan asumsi tanpa perubahan kebijakan dan program, maka angka kemiskinan ekstrem pada 2024 masih berkisar pada angka 2,3 persen.

Dalam rangka menghapus angka kemiskinan ekstrem pada 2024, diperlukan peta jalan detail yang menunjukkan target capaian setiap tahun. Peta jalan tersebut setidaknya dapat dijadikan sebagai acuan dalam rencana kerja pemerintah mulai tahun 2021 yang memuat target angka kemiskinan ekstrem dan angka kemiskinan nasional. Dari target tersebut, selanjutnya dapat dirumuskan langkah-langkah strategis yang diperlukan guna mencapai angka kemiskinan, baik ekstrem maupun angka periodik nasional.

Perlu upaya strategis untuk menurunkan beban pengeluaran melalui (1) konsolidasi dan harmonisasi program, (2) peningkatan cakupan dan manfaat program, (3) penyempurnaan ketetapan sasaran program, dan (4) menjaga kesejahteraan penduduk selama pandemi Covid-19 melalui program yang responsif. Selain itu, mempertahankan dan memutakhirkan sistem penetapan sasaran (DTKS) menjadi bagian penting dalam kerangka kebijakan penurunan beban pengeluaran.

Memperluas upaya peningkatan pendapatan kelompok miskin dan rentan melalui (1) pemberdayaan UMKM, (2) menciptakan nilai tambah dan pendapatan, dan (3) mempertahankan UMKM selama pandemi Covid-19 melalui program yang responsif. Pemerintah perlu mendorong upaya pengembangan data terpadu kegiatan usaha untuk mendukung percepatan penurunan kemiskinan ekstrem.