Increasing the Productivity and Capacity of APBDesa for the Acceleration of Development

12 December 2022


Implementasi UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa atau UU Desa selama periode 5 tahun pertama (2015-2019) telah berdampak pada peningkatan pendapatan desa. Sebelum ada UU Desa, periode 2010–2014, pendapatan desa sekitar Rp 99 triliun yang kemudian melonjak menjadi Rp 454 triliun di periode setelah ada UU Desa. Beberapa capaian lainnya adalah penyerapan tenaga kerja yang mencapai 13.459.955 tenaga kerja (2018 -2020), peningkatan sarana dan prasarana dasar desa, serta penurunan kemiskinan dan ketimpangan perdesaan.

Perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa secara umum juga meningkat dari aspek penurunan angka kemiskinan perdesaan. Yaitu dari 17,89 juta jiwa (14,09%) pada awal implementasi UU Desa (2015) menurun menjadi 14,93 juta jiwa (12,60%) pada September 2019.

Melalui UU Desa, pemerintah telah memberikan kewenangan dan alokasi dana yang besar kepada desa untuk mengelola pembangunan secara mandiri. Namun ketika dilihat lebih dekat, realita pembangunan perdesaan belum searah dengan yang diidealkan oleh UU Desa yang menekankan kemandirian administrasi dan pengembangan ekonomi berkelanjutan yang menitikberatkan pada potensi dan pasrtisipasi masyarakarat desa. 

Produktivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) belum optimal mendukung pengembangan sumber pendapatan berkelanjutan masyarakat pedesaan. Hal ini terindikasi dari rendahnya kontribusi APBDesa tahun 2019 pada sektor utama perdesaan, yaitu pertanian (11,7%), usaha produktif (2,6%), dan pengembangan SDM perangkat desa (1,6%) dan SDM kelembagaan dan kelompok usaha produktif perdesaan (4,6%). 

Di sisi lain, sumber utama Pendapatan Asli Desa (PADes) masih didominasi tanah kas desa. Pengelolaan produk unggulan desa belum sepenuhnya berkontribusi pada PADes. Data 5 tahun pertama implementasi UU Desa mengindikasikan PADes secara nasional justru mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode 5 tahun sebelum UU Desa. Dengan kata lain, peningkatan Dana Desa setiap tahun tidak serta merta diikuti dengan peningkatkan PADes. 

Kondisi tersebut dipengaruhi oleh belanja desa yang konsisten didominasi untuk pembangunan fisik sarana dan prasarana dasar. Hal ini terlihat dari komposisi jenis belanja modal sebesar 52,4% yang didominasi belanja aset-Sarpras sebesar 34% dan aset-tanah serta bangunan sebesar 12%. Belanja Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa mencapai 47,6%, dengan belanja pegawai sebesar 18,9% dan barang-jasa sebesar 28,7%. 

Kontribusi APBDesa di tahun anggaran 2019 untuk sektor pertanian yang jadi sumber utama mayoritas pekerja informal perdesaan (88,7%) masih rendah dengan hanya 11,7%. Sedangkan untuk usaha ekonomi produktif/rumah tangga kontribusinya hanya 2,6% dan didominasi oleh belanja fisik dan bantuan. Rendahnya kontribusi desa terkait pertanian dan dukungan pada pengembangan usaha ekonomi produktif desa/industri rumah tangga perlu mendapat perhatian serius. 

Padahal untuk mendorong pengelolaan APBDesa yang produktif kontribusi belanja desa untuk pertanian menjadi sangat penting, sebagaimana untuk usaha kecil dan mikro. Survey BPS tahun 2021 menunjukkan pertanian mendominasi karakter sumber pendapatan kelompok miskin ekstrem yang mencapai 46,9%. Angka tersebut bahkan lebih tinggi daripada kelompok miskin ekstrem yang tidak bekerja, yaitu 16%. 

Hal lain yang perlu diperhatikan juga terkait kapasitas SDM perangkat desa dan pelaku usaha produktif. Sebagaimana pertanian dan usaha ekonomi produktif desa, alokasi APBDesa  untuk peningkatan kualitas SDM di desa masih minim. Dengan rerata belanja SDM perangkat desa sebesar 1,6%, SDM kelembagaan masyarakat dan kelompok usaha ekonomi produktif sebesar 4,9%.

Sehingga bisa dibilang pengelolaan APBDesa pada periode pertama UU Desa belum mampu mendorong kegiatan ekonomi produktif dan menciptakan sumber pendapatan berkelanjutan untuk masyarakat perdesaan. Kebijakan pembangunan desa belum mampu menciptakan produktivitas dan reproduksi finansial seperti akumulasi modal dan/atau surplus finansial, khususnya di sektor pertanian.

Beberapa kendala sistematis dan struktural perlu dicermati, misalnya terkait sinergitas antara desa dengan supra desa (terutama kabupaten). Ini penting, karena pemerintah kabupaten punya ruang cukup luas dalam pembinaan dan pengawasan pembangunan desa, termasuk untuk mendorong pengelolaan APBDesa yang produktif.

Pembangunan desa tidak bisa terlepas dengan desa lain atau kawasan tertentu. Baik itu terkait secara spasial, sosial, ekonomi, maupun sumber daya alam. Oleh karena itu, sinergitas pembangunan kawasan perdesaan menjadi sangat penting. Pada skala desa, sinergitas bisa terjadi pada lokal desa atau antar desa, sedangkan pada skala supra desa sinergitas bisa terjadi pada kawasan. 

Pemerintah desa masih membutuhkan dukungan, fasilitas dan pembinaan agar mampu mengelola APBDesa secara produktif. Apalagi UU Desa menetapkan perencanaan pembangunan desa harus mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten. Kondisi ini tentu menjadi tantangan bersama dalam mewujudkan transformasi ekonomi perdesaan yang diusung oleh Permendesa PDTT Nomor 13/2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2021. 

Pemerintah Kabupaten punya peran kunci untuk mengusulkan dan/atau menetapkan pembangunan kawasan perdesaan. Namun teridentifikasi baru 152 dari 416 kabupaten yang punya pengembangan kawasan perdesaan. Hal ini mencerminkan kurangnya pemahaman di level kabupaten dalam aspek sinergitas sehingga sulit menerjemahkan pembangunan kawasan perdesaan dengan strategi, program, dan implementasi kegiatan ekonomi yang tepat.

Berdasarkan data tahun 2019, beberapa kabupaten di Jawa Tengah yang mempunyai pengembangan kawasan perdesaan punya pengeluaran per kapita dan dimensi proporsi PADes yang lebih baik. Kabupaten Grobogan, Jepara, Demak, Karanganyar, Blora, Banyumas, Boyolali, Kebumen, dan Batang, menunjukkan posisi yang relatif lebih baik pada salah satu atau kedua dimensi tersebut jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya dalam provinsi bersangkutan.

Dalam periode pertama implementasi UU Desa telah terjadi sedikit pergeseran mata pencaharian penduduk desa, dari sektor pertanian ke sektor perdagangan/eceran/rumah makan dan industri pengolahan. Meski pertanian tetap mendominasi, namun terlihat adanya pergeseran dengan peningkatan jumlah desa bersumber penghasilan utama perdagangan/eceran/rumah makan dan sektor industri pengolahan meningkat masing-masing sebanyak 42,6% (26 desa) dan 3,0% (2 desa).

Produktivitas APBDesa tersebut bisa dicapai jika belanja APBDesa menyasar bidang dan kegiatan yang mendorong penguatan dan pengembangan kelembagaan dan kegiatan ekonomi produktif desa berbasis potensi dan kearifan lokal. Dengan demikian akan mampu meningkatkan kegiatan dan volume ekonomi produktif desa serta mampu menciptakan efek multiplier, termasuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat berkelanjutan.

Sayangnya, berbagai regulasi yang ada juga belum sepenuhnya memberikan arahan bagaimana keluaran dan hasil pengelolaan APBDesa bisa diukur. Pada praktiknya, kinerja pengelolaan APBDesa yang selama ini digunakan secara regular memang masih pada aspek tata kelola administrasi, terutama pelaporan dan pertanggungjawaban, serta ketaatan dan kesesuaiannya dengan prosedur penyaluran dan pencairan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD).

Sampai sekarang pemerintah belum punya perangkat pengukuran capaian pembangunan desa yang sesuai kewenangan yang diamanatkan dalam UU Desa. Indeks Pembangunan Desa, Indeks Desa Membangun serta Indeks Kesulitan Geografis yang selama ini digunakan untuk melihat capaian pembangunan desa punya tujuan agak berbeda meski indikatornya saling beririsan.

Satu hal terakhir yang perlu digarisbawahi dalam pengukuran capaian pembangunan desa setelah implementasi UU Desa adalah pandemi COVID-19. Pandemi nyatanya berdampak pada kesejahteraan masyarakat desa, sehingga tren penurunan kemiskinan selama 5 tahun terakhir terganggu. Hal itu terlihat dari jumlah penduduk miskin perdesaan per Maret 2020 kembali naik menjadi 12,82%, atau 15,24 juta jiwa (bertambah 333,9 ribu jiwa), jika dibandingkan dengan bulan September 2019.

Akhirnya, periode pertama UU Desa yang memberi kewenangan desa untuk "mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat" demi "sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa" belum berjalan secara maksimal. Kendala sinergitas antara desa dengan supra desa perlu segera dicari solusinya, khususnya di level kabupaten yang sentral peranannya. Sedangkan persoalan kurangnya kapasitas SDM di level desa adalah persoalan laten yang dipengaruhi banyak faktor dan pemecahannya tidak bisa diserahkan pada UU Desa.