The Covid-19 Pandemic: Opportunities to Improve Programs and Policies to Become More Gender-Responsive

28 August 2020


Video Seri Dialog TNP2K:

 

Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini bukan hanya sekedar fenomena penyakit akibat adanya virus yang menyerang kesehatan, namun sudah menjalar menjadi sebuah fenomena krisis global yang memiliki dampak hampir di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Masyarakat dihadapkan pada situasi baru yang disebut new normal dimana berbagai penyesuaian perlu dilakukan, seperti bekerja di rumah, sekolah di rumah, munculnya berbagai protokol kesehatan sebagai aturan bermasyarakat baru, dan lainnya. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi kegiatan perekonomian masyarakat serta pendapatan rumah tangga, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal. Dampak yang terjadi akibat pandemi Covid-19 serta berubahnya tatanan dalam masyarakat berbeda bagi laki-laki dan perempuan. 
 
Di bidang kesehatan, sebanyak 74% pekerja adalah perempuan. Hal ini membuat perempuan lebih rentan terpapar Covid-19 dibanding laki-laki (PROSPERA, 2020). Selain itu, aturan untuk bersekolah dari rumah berpotensi menambah beban kerja domestik perempuan di rumah karena selain mengurus rumah dan kadang juga bekerja, perempuan masih harus mengambil peran sebagai pengajar dan pengasuh anak di rumah. Di Indonesia sendiri sekitar 39% perempuan yang bekerja memiliki setidaknya satu anak berusia SD (PROSPERA, 2020).

Menurut Dewi Haryani Susilawati, akademisi dari PSKK UGM, ada beberapa tren ketimpangan gender yang berkembang selama pandemi Covid-19 ini, baik itu sifatnya terdata dan juga anekdotal. Untuk tren yang terdata misalnya feminisasi di bidang Kesehatan, kurangnya representasi perempuan di dalam entitas publik, serta kerentanan perempuan yang bekerja di sektor informal. Lalu untuk tren yang sifatnya anekdotal misalnya feminisasi kemiskinan, dan sulitnya mengakses pelayanan terkait kesehatan reproduksi bagi perempuan. Kurangnya representasi perempuan dalam entitas publik contohnya pada satgas penanganan Covid-19, memperlihatkan bahwa secara formal peran perempuan itu terbatas. 

Pandemi ini menyingkap adanya struktur yang tidak adil, yang sudah ada sejak lama antara laki-laki dan perempuan (unjust structure) sehingga ruang-ruang untuk dialog kultural diperlukan untuk dapat perlahan-lahan memperbaiki struktur yang sudah ada. Beberapa langkah konkrit yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menyikapi keadaan ini adalah dengan memberikan ruang kepada pemerintah daerah dalam membuat peraturan atau kebijakan perlindungan sosial karena pemerintah daerah merupakan ujung tombak yang paling dekat dengan masyarakat sehingga lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan masyarakat khususnya perempuan.


Gambar 1. Seri Dialog TNP2K Mengenai Program dan Kebijakan Sensitif Gender
Sumber: TNP2K

Menurut Sri Kusumastuti Rahayu selaku Kepala Tim Kebijakan Perlindungan Sosial TNP2K, fokus pemerintah saat ini adalah segera mengatasi ketidakcukupan pangan, gizi, dan ekonomi secara umum. Respon yang dilakukan pemerintah adalah melanjutkan program yang sudah ada seperti PKH dan menjalankan program baru yang bertujuan untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat pada masa pandemi ini, seperti Bantuan Sosial Sembako untuk Jabodetabek, pembebasan tagihan listrik, dan lainnya. 

Namun, diakuinya bahwa program-program yang ada saat ini memang belum secara optimal mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan perempuan atau belum secara optimal sensitif gender. Berbagai upaya-upaya sudah dilakukan seperti contohnya program sembako yang bantuannya langsung diberikan kepada perempuan dengan harapan agar perempuan memiliki kontrol terhadap sumber daya. Meskipun begitu, mekanisme tersebut belum dapat mempengaruhi dinamika rumah tangga (intrahousehold condition) sehingga tetap berpotensi menambah beban perempuan akibat faktor-faktor lain dalam rumah tangga mereka seperti pengambilan keputusan untuk menggunakan uang dalam rumah tangga. Perlu ada kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi keadaan ini dan menciptakan kebijakan yang adil baik bagi perempuan maupun laki-laki. 

Direktur KAPAL Perempuan, Misiyah menjelaskan bahwa permasalahan yang dihadapi perempuan bersifat multidimensi. Selain menghadapi masalah yang sama dengan yang dihadapi oleh laki-laki, seperti kemiskinan, kehilangan pekerjaan, belum memiliki NIK, perempuan juga masih harus menghadapi masalah reproduksi seperti pemenuhan gizi saat mengandung, kebutuhan higienitas saat menstruasi, serta mengalami tindakan-tindakan diskriminasi. Berdasarkan kondisi ini, kebijakan dan program untuk merespon Covid-19 seharusnya bukan yang bersifat one size fits all karena harus mempertimbangkan lagi permasalahan unik yang dihadapi perempuan berdasarkan usia, atau wilayah geografis.tempat tinggal.

Deputi Direktur untuk Implementasi dari Program KOMPAK, Enurlela Hasanah menjelaskan bahwa kesuksesan program bansos tak hanya bertumpu pada perencanaan oleh pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah. Untuk itu, pemerintah daerah perlu diberikan ruang lebih luas lagi dalam memetakan masalah mereka dengan melibatkan masyarakat desa. Masyarakat desa — termasuk kelompok-kelompok perempuan di akar rumput — sebenarnya sangat memahami permasalahan lokal dan sumber daya apa saja yang bisa mereka akses, sehingga sebaiknya dilibatkan dalam perumusan kebijakan dan program mitigasi Covid-19, dan bukan ditempatkan hanya sebagai penerima manfaat program semata. Hal ini termasuk dalam proses pencatatan data, pemutakhiran data, kegiatan menjemput bola untuk menjangkau kelompok perempuan dan marjinal penting dilakukan untuk menghindari terjadinya exclusion error akibat tidak memiliki NIK atau akses terhadap layanan DUKCAPIL sulit dijangkau.

Berdasarkan pembelajaran dari Program KOMPAK, Enurlela menekankan pentingnya kolaborasi horizontal di tingkat daerah yang melibatkan banyak pemangku kepentingan atau stakeholder, serta alur komunikasi dan akuntabilitas vertikal yang efektif dengan pemerintah pusat baik dalam situasi bencana Covid-19 maupun situasi normal. Kolaborasi horizontal ini turut membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi perempuan dalam proses pemerintahan.

Masa krisis ini adalah kesempatan untuk mereformasi berbagai kebijakan dan program pemerintah agar lebih sensitif gender, terutama kebijakan dan program perlindungan sosial. Terdapat tiga hal mendasar untuk memulai perbaikan tersebut, yaitu reformasi data yang mempertimbangkan aspek cakupan data, model data serta unit analisisnya. Sehingga, program dan kebijakan yang dibangun tidak hanya dapat berlandaskan pada data kuantitatif, namun juga berdasarkan data kualitatif yang lebih menggambarkan nuansa dari masalah yang dihadapi perempuan dan kelompok marjinal. Penguatan data baik kuantitatif dan kualitatif dapat melibatkan unsur masyarakat dan pemerintah desa demi memperkaya perspektif dari level pemerintahan terkecil. 

Selain itu pemerintah daerah dan masyarakat di akar rumput perlu mendapatkan peningkatan kapasitas melalui kegiatan-kegiatan dapat memberikan pemahaman lebih mendalam tentang permasalahan relasi gender. Peningkatan kapasitas ini akan  dapat memperbaiki alur akuntabilitas antara pemerintah pusat dan daerah. Perspektif perempuan dalam tanggap bencana Covid-19 dapat diwujudkan dengan melibatkan perempuan dalam satuan tugas tanggap Covid-19, misalnya dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di level nasional dan lokal.

Dialog mengenai perspektif gender dalam tanggap Covid-19 ini diselenggarakan oleh TNP2K, dengan dukungan dari Program MAHKOTA, pada Kamis, 27 Agustus 2020. Sesi dialog ini dimoderatori oleh Zahra Amalia Syarifah dari TNP2K serta melibatkan Dewi Susilastuti, Peneliti Senior dan Pakar Gender PSKK UGM. Misiyah, Direktur Institut KAPAL Perempuan. Enurlela Hasanah, Deputy Director & Implementation Program KOMPAK, dan Sri Kusumastuti Rahayu, Kepala Tim Kebijakan Perlindungan Sosial TNP2K, dan bertujuan untuk memberikan ruang diskusi antara akademisi dan lembaga pemerintahan serta praktisi terkait isu gender yang seringkali terlupakan dalam proses pembuatan kebijakan. (KM)

Unduh rangkuman diskusi melalui tautan berikut:
Respon Sensitif Gender Terhadap Pandemi Covid-19: Peluang dan Tantangannya di Indonesia