Penanganan Kemiskinan di Aceh pada Masa Pandemi

01 October 2020


Wabah Covid-19 yang terjadi saat ini sangat mempengaruhi aktivitas perekonomian di Indonesia. Selama wabah ini terjadi, sudah banyak aktivitas ekonomi yang menurun, bahkan terhenti, khususnya di sektor penerbangan, perhotelan, restoran, dan wisata. Turunnya aktivitas ekonomi ini tentu berdampak pada sosial-ekonomi masyarakat, seperti meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Masyarakat yang miskin dan rentan miskin merupakan masyarakat yang paling terdampak terhadap wabah ini karena jika kelompok masyarakat ini tidak mendapatkan pendapatan, mereka tidak akan bisa membeli kebutuhan pokok sehari-hari.

 

Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Sebelum pandemi dimulai, pada tahun 2019, Aceh memiliki angka kemiskinan sebesar 15,01%, tertinggi ke-6 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Tingginya angka kemiskinan ini tentu membuat masyarakat Aceh lebih rentan terhadap wabah Covid-19.

 

Menurut Kepala Sekretariat Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TKP2K) Aceh, Hasrati Ali, dalam menanggapi pandemi, Pemerintah Aceh melakukan refocusing anggaran, dan menggelontorkan dana sebesar 1,7 triliun untuk tiga fokus utama kebijakan yang bisa mengurangi dampak Covid-19. Pertama, pemerintah Aceh memperbaiki pelayanan kesehatan setempat, khususnya untuk pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Langkah ini dimaksudkan untuk menekan penyebaran virus Covid-19 sebelum vaksin penyakit ini tersebar.

 

Kedua, Pemerintah Aceh akan meningkatkan fungsi program perlindungan sosial, seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial Tunai (BST), bantuan langsung pemerintah Aceh, dan lain-lain. Program perlindungan sosial dinilai mampu untuk meminimalisir dampak Covid-19 terhadap provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi seperti Aceh. Program perlindungan sosial dapat meminimalisir rendahnya gizi, pendidikan, dan kesehatan pada masyarakat miskin, sehingga akan mempengaruhi kualitas angkatan kerja dan dapat menunjang perekonomian Indonesia di masa depan.


Ketiga, pemerintah Aceh berupaya untuk memulihkan perekonomian yang menurun sejak wabah Covid-19 menyebar. Selain upaya pemerintah Aceh untuk meningkatkan ketahanan pangan, pemerintah Aceh juga akan memberi bantuan terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Industri Kecil Menengah (IKM). Bantuan ini sangat penting mengingat rendahnya perekonomian sektor sekunder (sektor Industri, sektor listrik, gas, air bersih, sektor bangunan) di Aceh.

 

Jika kita melihat dari distribusi perekonomian sektoral, perekonomian sektor primer (pertanian dan pertambangan) di Aceh menurun dari 49,8% pada tahun 2005 menjadi 34,3% pada tahun 2019. Anehnya, pengurangan persentase sektor primer ini tidak dibarengi oleh peningkatan sektor sekunder, yang bahkan menurun dari 24,4% pada tahun 2005 menjadi 14,5% pada tahun 2019. Persentase sektor primer yang menurun ini justru disebabkan oleh peningkatan persentase pada sektor tersier (sektor PHR, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, dan sektor jasa lain), yaitu 28,8% pada tahun 2005 menjadi 51,1% pada tahun 2019. Berbeda dari kebanyakan provinsi lainnya, kini Aceh tidak lagi didominasi oleh sektor primer, melainkan sektor tersier. Menurut Asisten Ketua Pokja Kebijakan TNP2K, Ardi Adji, terjadinya perpindahan dominasi sektor primer ke sektor tersier ini mengindikasikan kurangnya potensi value chain suatu wilayah, dan dikhawatirkan nilai tambah produk di Aceh malah dimanfaatkan oleh wilayah lain.

 

Bantuan pemerintah terhadap UKM dan IKM diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah produk dari sektor primer sehingga produk-produk yang dihasilkan bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi. UKM dan IKM juga diharapkan mampu meningkatkan net-ekspor antardaerah di Aceh, yang dalam 10 tahun terakhir memiliki persentase yang rendah, yaitu rata-rata minus 22 persen. Rendahnya net-ekspor antardaerah ini mengindikasikan bahwa Aceh memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap provinsi lainnya. Ketergantungan ini bisa ditekan dengan meningkatkan ekspor antardaerah melalui peningkatan potensi industri setempat.

 

Dalam melaksanakan program penanggulangan Covid-19, memang terdapat beberapa masalah yang menghambat kinerja pemerintah, dan salah satu tantangan terbesarnya adalah penetapan data sasaran bantuan. Data yang kini tersedia, seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), belum secara tepat mempresentasikan masyarakat yang terdampak pandemi, dan pengumpulan data baru tidak akan bisa dilakukan secara cepat. Padahal, bantuan pemerintah harus segera dilakukan. Kedepannya, pemerintah diharapkan untuk mengatasi masalah ini dengan sebaik-baiknya.

Penanganan kemiskinan di Aceh selama masa pandemi memang merupakan suatu tantangan yang lumayan berat karena angka kemiskinan di Aceh sudah tinggi bahkan sebelum pandemi menyerang. Akan tetapi, pemerintah telah berupaya keras untuk meminimalisir dampak Covid-19 yang sudah tersebar di Indonesia. Walaupun Pemerintah Aceh sudah melakukan rencana anggaran untuk meminimalisir dampak pandemi, Pemerintah Aceh juga diharapkan mampu untuk mengeksekusi rencana tersebut dengan baik agar dampaknya bisa terasa di masyarakat.