TNP2K Bekerjasama dengan PSKK UGM Lakukan Survei Kualitas Pendidikan Anak Tahap Endline

29 January 2014


Pada 22 Januari 2014, lalu, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan bekerjasama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada (UGM), melakukan Survei Kualitas Pendidikan Anak Tahap Endline untuk mengukur implementasi penyaluran manfaat Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan proses penyaluran manfaat program BSM baik kuantitas maupun kualitas, terutama untuk mengetahui tingkat pemahaman para siswa penerima BSM, sekolah, madrasah, serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

Survei Kualitas Pendidikan Anak (SKPA) Tahap Endline melibatkan kurang lebih 185 asisten lapangan dan wilayah survei mencakup enam provinsi di Indonesia, yaitu: Jawa Timur, Jawa Barat, NTT, NTB, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Pengumpulan data di lapangan akan berlangsung selama empat minggu, dan dimulai awal Februari 2014.

Tujuan SKPA Tahap Endline untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa penerima BSM, sekolah, mandrasah, dan dinas pendidikan setempat tentang detil prosedur pembayaran BSM. Mohammad Herman dari Tim Monev TNP2K (monitoring and evaluation) menyampaikan, TNP2K kembali bermitra dengan PSKK UGM untuk melakukan pemantauan terhadap penyaluran manfaat program BSM baik secara kuantitas dan kualitas.

Terkait dengan penyaluran dana BSM atau bantuan siswa miskin memang bukan pekerjaan mudah, dan hingga saat ini beragam persoalan terutama mengenai tingkat serapan, dan ketepatan sasaran selalu menjadi pertanyaan. Seperti halnya terjadi di Mamuju, Sulawesi Barat misalnya, ratusan wali murid mengeluhkan penyaluran BSM hanya bisa dilakukan di bank daerah setempat.

Selain itu, sejumlah wali murid mengeluhkan kebijakan kepala sekolah yang memotong dana BSM secara sepihak. Pemotongan tersebut dilakukan dengan alasan pemerataan, agar tak ada kesejangan di antara para siswa. Melva Purba, Program Officer Pokja Pengendali Program Bantuan Sosial TNP2K, mengatakan “Tingkat serap BSM dengan menggunakan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat serap program BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang juga sama-sama menggunakan KPS. Hingga 19 Desember 2013 tingkat serap BLSM mencapai 97,2 persen, sementara BSM baru mencapai angka rata-rata 50 persen,” ujarnya.

Melva menambahkan dari hasil pantauan dan analisis, ada beberapa kemungkinan penyebabnya, yaitu: (1) keterlambatan atau kurangnya sosialisasi di tingkat rumah tangga sekolah termasuk di instansi pemerintah, seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta Departemen Agama. Ada kemungkinan para pemegang KPS tidak mengetahui bahwa kartu bisa digunakan untuk mendapatkan dana BSM. (2) Pemahaman yang kurang terhadap mekanisme penyaluran BSM yang baru.

Upaya perbaikan target sasaran dan daya serap program BSM terus dilakukan, TNP2K melakukan sosialisasi berkelanjutan perihal perpanjangan jadwal pengembalian KPS hingga akhir November 2013, serta mengirimkan surat agar anak-anak peserta Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi prioritas Formulir Usulan Sekolah (FUS) sebagai penerima BSM.

Melva pun menyatakan bahwa selama ini timnya juga melakukan pemantauan setiap minggunya terhadap laporan masyarakat tentang BSM melalui LAPOR!. “Hingga 16 Januari 2014, ada sekitar 3.472 pesan singkat (SMS) tentang BSM yang masuk dan 65 persen sudah ditindaklanjuti,” jelasnya.

Sebagian besar pertanyaan masyarakat adalah cara pendaftaran BSM dengan KPS, jumlah dana manfaat BSM yang diterima, jadwal pencairan dana BSM, hingga laporan-laporan tentang kasus penyelewengan dana BSM. Upaya memperkuat sosialisasi juga dilakukan dengan melakukan kampanye program BSM melalui 127 jaringan radio secara nasional yang menjangkau 114 kabupaten/kota. Poster sosialisasi BSM pun telah disebar ke titik-titik strategis di lebih dari 114 kabupaten/kota. Pers pun menjadi mitra dalam upaya sosialisasi ini dan TNP2K telah melakukan media roadshow di enam kota yang memiliki jumlah potensi peserta BSM paling banyak.