Chlidren in East Nusa Tenggara Village Undeterred by Long and Winding Road to School


(TNP2K/Fauzan Ijazah)

Matahari belum terbit di Dusun Hawir di Desa Nggilat, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pagi itu di bulan Juli. Namun Patria Helena “Helen” Delasmi, 9 tahun, dan adik laki-lakinya Yanuarius Theodata Giarto alias Gian, 6 tahun, sudah siap pergi sekolah. Sambil menunggu sarapan dihidangkan, kakak beradik itu bermain dengan adik bungsu mereka yang berusia tiga bulan yang sedang digendong nenek mereka. Setiap hari Helen dan Gian harus bangun subuh karena jarak sekolah yang jauh dan perjalanannya mirip petualangan lintas alam – berjalan kaki 30 menit sampai satu jam melewati jalan tanah yang berbatu, melewati hutan, padang rumput dan aliran sungai. Namun mereka tidak punya pilihan karena hanya ada satu sekolah dasar di Nggilat, yakni SDI Hawir, untuk tiga dusun dan desa tetangga, Singkul. Sekolah itu telah dipilih untuk ambil bagian dalam program KIAT Guru untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di daerah sangat tertinggal melalui pemberdayaan masyarakat dan pengaitan pembayaran Tunjangan Khusus Guru dengan kehadiran guru atau kualitas layanan guru.

Program rintisan ini adalah hasil kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Nasional untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan (TNP2K) dan dan lima pemerintah kabupaten PDT, salah satunya Manggarai Barat, serta diimplementasikan oleh Yayasan BaKTI, dengan dukungan teknis dari Bank Dunia dan pendanaan dari Pemerintah Australia dan USAID.

 


(TNP2K/Fauzan Ijazah)

Berkas-berkas sinar matahari menyelinap dari dinding kayu di dapur, dan Helen serta Gian menikmati sarapan nasi dengan lauk mie. Mereka ditemani ibu mereka, Veronica Sulastri, 27 tahun. Seperti umumnya anak-anak di desa itu, Helen pemalu terhadap orang asing dan ia tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia karena lebih terbiasa berbicara bahasa daerah. “Ia sebetulnya suka membaca dan senang Matematika, tapi ia kesulitan mengerti Bahasa Indonesia,” kata Veronica. Ia mencoba membantu Helen belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah setiap malam, salah satu kegiatan yang termasuk dalam perjanjian layanan komunitas dalam program KIAT Guru. 

KIAT Guru memberdayakan masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban guru dengan menyepakati untuk memprioritaskan lima sampai delapan indikator kinerja layanan untuk memperbaiki kondisi belajar murid. Sebaliknya, masyarakat, dalam hal orang tua, harus melakukan tugasnya di rumah, seperti menyediakan kebutuhan anak-anak, misalnya seragam dan meja belajar, dan membantu mengerjakan pekerjaan rumah. “Tapi saya hanya bisa membantu sebisanya karena saya hanya lulusan SMP,” kata Veronica.

 


(TNP2K/Fauzan Ijazah)

Ayah Helen, Maksimus Sunardi, 31 tahun, membantunya mengikat tali sepatu sebelum pergi sekolah. Sunardi menyambut baik program KIAT Guru di sekolah anak-anaknya dan ia aktif terlibat dalam pertemuan-pertemuan antara guru dan Kelompok Pengguna Layanan (KPL), yang mencakup orang tua murid dan tokoh masyarakat. Ia berharap pemerintah memperbaiki jalan desa karena ia khawatir anak-anaknya yang masih kecil harus melalui perjalanan yang menguras fisik untuk mencapai sekolah. “Beberapa anak di desa ini sampai tidak mau sekolah karena terlalu melelahkan,” ujarnya.

Sebagai petani, medan yang berat juga membatasi akses terhadap pasar. Sunardi menjual sejumlah komoditas, dari kemiri sampai beras dan biji kopi, yang dikirim secara kolektif dengan truk ke penadah di Kecamatan Reo di Kabupaten Manggarai. Akibatnya, harga-harga komoditas naik turun tergantung penadah, ujar Sunardi.

 


(TNP2K/Fauzan Ijazah)

Helen menuruni tangga di depan rumahnya, yang terbagi atas dua area, yaitu bangunan batu-bata untuk tempat tinggal dan dapur kayu di belakang. Toilet dan kamar mandi ada di bangunan terpisah. Beberapa anak sudah menunggu kakak beradik itu untuk pergi sekolah bersama-sama. Sebagian dari mereka tinggal di Desa Singkul, yang jaraknya lebih jauh lagi dari sekolah. Mereka melewati rumah Helen setiap hari dan suara mereka berlari dan bercakap-cakap merupakan tanda bagi Helen untuk berangkat ke sekolah.

 


(TNP2K/Fauzan Ijazah)

Lebih banyak lagi murid bergabung dengan Helen dan anak-anak lain untuk jalan kaki menuju sekolah. Mereka kelihatannya sudah terbiasa melalui jalan berbatu-batu dan terjal itu, berjalan cepat dan melompat dengan gembira, meskipun beberapa masih sangat kecil dan sebagian lagi memakai sandal jepit karena tidak mampu membeli sepatu. Dalam pertemuan awal KIAT Guru dengan anak-anak, saat mereka diminta rekomendasi untuk orang tua dan sekolah, mereka berharap mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar yang oleh anak-anak di daerah yang lebih maju dianggap biasa. Beberapa dari anak-anak ini ingin punya sepatu, makanan dan seragam yang bagus. Yang lainnya berharap agar tidak perlu mencari kayu bakar di hutan.

 


(TNP2K/Fauzan Ijazah)

Helen dan anak-anak lain mengambil air dari Sungai Turvale menggunakan jeriken. Musim kemarau membuat halaman sekolah gersang dan berdebu, jadi murid-murid diminta membawa air untuk menyiram tanah dan tanaman, karena tidak ada sumber air tersedia di sekolah. Pada musim kemarau, air sungai hanya setinggi mata kaki. Tapi saat hujan lebat, sungai meluap sampai dua meter sehingga anak-anak terpaksa tidak masuk sekolah. Ketika air surut, ayah Helen, Sunardi mengatakan, Ia dan bapak-bapak lainnya harus menggendong anak-anak di bahu mereka untuk menyeberangi sungai.

 


(TNP2K/Fauzan Ijazah)

Anak-anak melewati jalan berbatu-batu di hutan dan masing-masing membawa jeriken berisi air menuju sekolah. SDI Hawir memiliki luas tiga hektar tapi kondisinya buruk, dengan lantai dan langit-langit yang retak, dan hanya ada satu toilet berbentuk bilik bambu reyot dengan lubang di tanah, yang digunakan oleh 116 murid dan 11 guru mereka.

 


(TNP2K/Fauzan Ijazah)

Sebuah truk melewati anak-anak yang berjalan ke sekolah. Jalan desa yang berbatu-batu tidak memungkinkan kendaraan biasa lewat, jadi truk adalah moda transportasi publik antardesa. Bagian belakang truk dipasang bangku-bangku panjang untuk tempat duduk penumpang dan bagian atas dipasangi kanopi. Orang-orang biasanya sudah bisa mendengar suara truk jauh sebelum mereka muncul, karena pengemudinya memainkan musik disko dengan volume kencang untuk menghibur para penumpang, dan diri mereka sendiri.

 


(TNP2K/Fauzan Ijazah)

Helen melewati padang rumput dalam perjalanan ke sekolah. Ketika ditanya cita-cita, ia mengatakan, seperti diterjemahkan ayahnya, ingin menjadi bidan. Mungkin ia melihat perjuangan ibunya ketika hamil dan melahirkan. Tidak ada klinik dan bidan di Hawir yang terpencil. Puskesmas terdekat ada di Desa Rego, sekitar 7 kilometer jauhnya. Veronica punya pengalaman traumatis dengan dukun beranak ketika melahirkan Helen. Jadi saat akan melahirkan Gian, ia memutuskan pergi ke Rego, yang berarti berjalan satu jam dengan perut besar karena mobil dan ambulans tidak bisa melalui jalan desa yang terjal berbatu. Kasus kematian ibu melahirkan di desa itu sudah langka sekarang, namun medan yang berat menimbulkan komplikasi medis seperti pendarahan. Untuk anak bungsunya, Veronica tinggal bersama kakak perempuannya di ibukota kabupaten, Labuan Bajo, selama dua bulan sampai ia melahirkan.

 


(TNP2K/Fauzan Ijazah)

Waktu menunjukkan pukul 07.15 WITA dan murid-murid akhirnya tiba di SDI Hawir. Semua guru juga sudah datang. Sambil menunggu pelajaran mulai, beberapa murid bermain di luar sementara yang lain langsung masuk kelas untuk melakukan tugas piket. Lima belas menit kemudian, bel berbunyi dan semua menghambur ke dalam kelas untuk memulai pelajaran hari itu. Helen duduk di kursi paling belakang, mengikuti pelajaran bersama anak-anak kelas tiga lainnya. Dalam studi awalan program rintisan KIAT Guru, Helen “tidak mencapai kemampuan dasar” untuk Bahasa Indonesia dan Matematika. Namun ia terlihat bersemangat untuk belajar dan sangat aktif di kelas, membawa harapan tinggi ayah dan ibunya agar ia bisa lulus dari universitas.

 

(Hera Diani)